Apabila menengok pada pembahasan sejarah yang direkam di dalam arsip Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa Muncar (RPJM Desa Muncar), pembahasan mengenainya memang seakan tidak valid, sebab melihat kepada kurang jelasnya sumber yang dicantumkan. Atau pun jika sumbernya jelas, penulisan serta penyusunannya belum lah dapat dikatakan sesuai dengan bagaimana semestinya sebuah narasi historis disusun, meskipun secara alur waktu sudah menunjukkan keterkaitan pada jajak pemahaman narasi yang diakronis, atau di dalam istilahnya yang lain, yaitu pemahaman narasi yang menunjukkan alur waktu yang kronologis, yang mana hal ini merupakan suatu keharusan di dalam penyusunan sebuah narasi historis.
Bilamana melihat kepada mula-mula narasi historis yang dibangun oleh tim penyusun RPJM Desa Muncar, bahasannya di mulai pada legenda, yang berarti juga adalah sebuah tradisi lisan diberlakukan di sini. Dan kepada penggunaan tradisi lisan di dalam penyusunan narasi historis, maka berarti kehati-hatian yang mestinya coba
dibangun adalah sebuah kehati-hatian terhadap jebakan mitos yang tak perlu dan dilebihkan. Namun hal tersebut bukanlah berarti bahwa sebuah tradisi lisan tak dapat menjadi sebuah sejarah, sebab kepada usaha yang digiatkan oleh Jan Vansina, atau pun juga oleh Eric. J. Hobsbawm, menunjukkan pada pemahaman kita bahwa di satu sisi, asalkan seorang yang berminat menulis sejarah suatu masyarakat yang mewariskan pengetahuannya melalui tradisi tutur atau tradisi lisan, maka sebuah penulisan sejarah yang berlandaskan pada sumber utama tradisi lisan tersebut dapat dimaklumkan, asalkan sebuah kritik sejarah digiatkan betul-betul kritis29.
Dalam bukunya yang berjudul Tradisi Lisan Sebagai Sejarah, Jan Vansina menjelaskan bahwa, peradaban lisan yang berdasar kepada “tradisi lisan” di Afrika itu sejajar dengan peradaban tulisan yang ada di Eropa dan Amerika kontemporer, keduanya sama kedudukannya ketika dikelompokkan sebagai
sumber sejarah30. Sementara itu di sisi lain, Eric J. Hobsbawm banyak mempergunakan syair dan lagu- lagu yang secara eksplisit maupun tak eksplisit membahas seorang bandit sosial tertentu. Misalnya adalah kepada doa seorang wanita dari San Stefano di Aspromonte (Calabria) untuk Musolino, atau syair mengenai Lampião yang hebat, atau kepada pengkhianatan-pengkhianatan kepada para bandit sosial seperti yang banyak disinggung Hobsbawm melalui balada dan dongeng-dongeng Spanyol31. Menilik pada dua usaha yang dilakukan oleh Jan Vansina dan Eric. J. Hobsbawm di atas, dapat dipahami bahwasanya tradisi lisan sekalipun, entah yang dituturkan selama generasi ke generasi, atau yang termanifestasi dalam syair dan dongeng- dongeng, masihlah dapat menjadi sebuah sumber sejarah yang potensial.
Teruntuk legenda mengenai sejarah Desa Muncar sendiri, setidaknya seperti yang tertulis pada RPJM Desa Muncar, dimulai pada narasi tentang seorang tokoh bernama Nyi Ageng Serang yang dijelaskan adalah seorang pengikut Pangeran Diponegoro yang pada saat itu sedang melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda (1825-1830). Menurut kepada penelitian yang dilaksanakan oleh Wulan Dari dan kawan-kawan, Nyi Ageng Serang (1762-1834) ini adalah satu dari sederetan nama para pejuang wanita yang berasal dari Kerajaan Mataram32. Nama Nyi Ageng Serang sendiri di masa kini telah ditasbihkan menjadi salah satu dari sekian banyak nama yang menyandang gelar Pahlawan Nasional. Penasbihan tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasar kepada Keputusan Presiden RI No. 084/ TK/ Tahun 1974, dengan tanggal 13 Desember 197433. Setidaknya menurut penuturan Putu Lasminah, karakter Nyi Ageng Serang ini memiliki ketetepan prinsip yang anti-kolonial, sehingga kemudian Nyi Ageng Serang memiliki sifat yang cerdas, lincah, dan terarah
pandangan hidupnya34. Sebagai seorang patriot pada Perang Diponegoro, Nyi Ageng Serang memiliki strategi-strategi jitu di dalam menyergap dan menghancurkan sasaran. Salah satu kepada banyaknya strategi yang diusungkannya itu adalah kepada yang dinamai sebagai “Kamuflase dan Lumbu” (Daun Keladi), yang kurang lebih pelaksanaannya adalah dengan para pengikut dari Nyi Ageng Serang yang diperintahkan sebelumnya untuk menutupi bagian tubuhnya seakan-akan seperti semacam Daun Keladi. Di dalam penyamaran atau kamuflase tersebut, setidaknya ketika musuh mulai berada di dalam jangkauan, maka efek kejut akan menjadi poin utama, sebab serangan mendadak dari jarak dekat tersebut mestinya dapat menimbulkan kengerian bagi musuh yang terjebak dalam perangkap strategi Kamuflase dan Lumbu ini35. Menurut kepada lanjutan informasi yang disampaikan oleh Putu Lasminah, Nyi Ageng Serang ini memang bertempat tinggal di Desa Serang di sepanjang pinggiran Sungai Serang, yang barangkali relevansinya kemudian dengan Sejarah Desa Muncar ini menjadi valid sebab kepada Desa Muncar yang juga dua dusunnya, yaitu Dusun Pareyan dan Ledok, dilalui oleh sepanjang Sungai Serang yang membentang36.
Selepas kekalahan yang dialami oleh pasukan Pangeran Diponegoro pada tahun 1830, ditandai dengan penangkapan yang dilakukan Belanda terhadap Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng Serang bersama banyak pengikutnya kemudian kembali menuju tempat mereka sebelumnya berdiam diri, dengan melalui aliran Sungai Serang. Oleh sebab kepada perjalanannya yang amat jauh, kemudian rombongan ini beristirahat dan bermalam di suatu daerah di pinggiran aliran Sungai Serang. Tetapi kemudian salah satu dari kesekian banyak rombongan Nyi Ageng Serang tersebut, selepas ayam berkokok menandakan pagi hari berbunyi, tertinggal dan karenanya terpaksa berdiam di daerah tersebut. Selepasnya, istilah wong sing mencar (Orang yang terpisah) tercetus. Orang yang terpisah darirombongan itu akhirnya tinggal dan menetap di daerah tersebut dan juga memperistri salah satu penduduk di sana.
Orang yang terpisah dan istrinya itu di kemudian hari dikenal sebagai Ki Koncer dan Nyi Koncer, dan wilayah tempat keduanya tinggal tersebut di kemudian masa disebut sebagai Padusunan Muncar. Seiring waktu berjalan, sebab kepada tempat tersebut kian ramai dikunjungi oleh khalayak, maka padusunan tersebut kian berkembang juga hingga menjadi di kemudian hari sebuah desa dengan sebutan Desa Muncar37. Hingga masa kini, kepercayaan yang membenam di benak tiap-tiap masyarakat Desa Muncar tetaplah mengenai kisah yang demikian tersebut.
Selepas Ki Koncer dan Nyi Koncer beserta sekalian masyarakat Desa Muncar itu mendapati kehidupannya yang membaik, dibukalah kemudian perkampungan-perkampungan lain dengan cara membuka lahan-lahan hutan yang ada di sekitar tersebut sehingga terciptalah kemudian padusunan-padusunan lainnya. Padusunan-padusunan yang baru tersebut di antaranya adalah Padusunan Muncar Ledok, Padusunan Muncar Krajan, Padusunan Muncar Jaten, dan Padusunan Muncar Nglarangan38. Selanjutnya dua dukuhan lagi muncul tak lama setelah Desa Muncar yang seiring waktu kian menunjukkan perkembangannya. Dua dukuhan itu dikenal dengan nama Dukuhsari dan Dukuh Pareyan. Yang kemudian kedua dukuh tersebut menjelma menjadi dusun juga di kemudian waktu.
Terkait kepada penuturan mengenai Ki Koncer dan Nyi Koncer ini, sejauh kepada pemahaman yang penulis dapat melalui riset, memang agaknya sulit untuk membuktikan mengenai eksistensi kedua tokoh tersebut, sebab minimnya sumber dokumen atau tertulis yang bisa dijadikan sebagai sumber pembanding atas narasi yang coba disampaikan. Seperti yang coba disampaikan oleh tim penyusun RPJM Desa Muncar di awal bab yang khusus membahas terkait sejarah desa, yaitu bahwasanya kisah ini (Ki Koncer dan Nyi Koncer) adalah kisah yang baru bisa ditelusuri melalui suatu penelusuran memori, melalui mereka yang sudah berumur tua (para sesepuh desa), yang mengetahui kisah ini dari orang tua mereka dulu, dan orang tuanya dulu pun mengetahui kisah ini dari orang tua yang lebih dulu lagi.
Kasus yang menimpa ini hampir memiliki kesamaannya dengan apa yang coba diwartakan oleh Plato dalam bukunya, Timaeus dan Cirtias, di mana dijelaskan jika pengetahuan mengenai Atlantis yang sedang dibincangkan pada narasinya tersebut diketahui bahwasanya Critias mendapati pengetahuan yang demikian dari Solon, dan Solon pun mendapati pengetahuan mengenai Atlantis dari para pendeta Mesir, yang kisahnya pun diceritakan beratus tahun di masa yang lebih lampau lagi39. Mengenai kasus yang seperti ini, Jan Vansina sebutkan sebagai sesuatu yang disebut Gosip bersejarah. Gosip bersejarah sendiri adalah segala macam berita serta desas-desus yang kemudian dihasilkan selayaknya peristiwa yang terjadi, dengan kemudian dikomunikasikan melalui saluran komunikasi dalam masyarakat40. Suatu desa yang
sudah ditinggalkan oleh banyak penghuninya selama lima puluh tahun, akan tetap diingat oleh banyak orang sebab pada kharisma pendirinya, atau mengenai alasan mengapa desa tersebut ditinggalkan41. Sama seperti yang terjadi di dalam kasus pembentukan Desa Muncar pada mula-mula ini, dalam peranan salah satu pengikut Nyi Ageng Serang yang terpisah dari rombongan di sepanjang Sungai Serang, yang ternyata justru menemukan pasangannya di sana, kemudian tinggal dan membangun desa, selanjutnya desa yang dibangun itu menjadi sebuah desa yang lebih besar dan luas lagi, dengan pengunjung yang lebih banyak lagi, sehingga kemudian sebuah kesatuan wilayah geografis mulai terbentuk. Meskipun umur dari kisah ini sudah sedemikian tua, namun eksistensinya itu masih tetap bisa untuk dipertahankan, sama seperti yang terjadi pada kisah mengenai Kota Haithabu (sekarang masukSchleswig, Jerman Barat) yang hilang atau Gergovia (Prancis)42.
Setelah menyikapi kisah pembentukan Desa Muncar, tim penyusun RPJM Desa Muncar ini di kemudian menyuguhkan data mengenai siapa demang paling awal yang terekam di dalam sejarah, meskipun selayaknya mereka yang bukan seorang sejarawan akademis, sumber terkait hal ini masih kabur dan tidak jelas. Misalnya adalah, diketahui bahwasanya pemerintahan Desa Muncar dipimpin oleh seorang demang bernama Rekso Sumarto dari semenjak tahun 1920 hingga tahun 1935. Pada periode berikutnya selepas kepemimpinan demang Rekso Sumarto, diadakanlah pemilihan secara langsung untuk menunjuk siapa demang yang baru. Dijelaskan bahwa pelaksanaan pemilihan secara langsung itu terselenggara di area tanah jebolan (yang sekarang menjadi tanah milik Bapak Trimo). Terdapat 12 nama calon yang saat itu mengikuti pemilihan, yang nama-nama di antaranya adalah sebagai berikut:
- Bapak Harman (Rekso Diharjo) dari Dusun Nglarangan.
- Bapak Khasim dari Dusun Jaten.
- Bapak Pawiro Jinah dari Dusun Nglarangan.
- Bapak Sonto Pawiro dari Dusun Jaten.
- Bapak Rekso Taruno dari Dusun Krajan.
- Bapak Mustipah dari Dusun Krajan.
- Bapak Citro dari Dusun Ledok.
- Bapak Abu Darim dari Dusun Ledok.
- Bapak Dur Rahman dari Dusun Ledok.
- Bapak Wiryo Paminto dari Dusun Pareyan.
- Bapak Mimbo dari Dusun Bonomerto (dari luar dusun).
- Bapak Admo dari Dusun Karangdawung (dari luar dusun).
Dijelaskan bahwasanya pemilihan lurah pada saat itu masih menggunakan metode bitingan, yang mana pemilihan dilaksanakan dengan mempergunakan biting (potongan lidi) yang dimasukkan ke dalam sebuah lumbung bambu. Pemilihan tersebut dijelaskan berakhir dengan kemenangan yang diperoleh Bapak Harman (Rekso Diharjo). Dirinya ini (Bapak Harman) kemudian menduduki tampuk kepemimpinannya atas Desa Muncar hingga pada tahun 1961. Di tahun 1961, Bapak Harman (Rekso Diharjo) meninggal dunia pada usianya yang memang sudah senja, sehingga kemudian tampuk kepemimpinan desa untuk sekali lagi mesti dilangsungkan. Dan pada kesempatannya kali ini, pemilihan lurah dilaksanakan di Lapangan Jaten, yang di masa kini sudah menjadi SDN Muncar
Pemilihan lurah baru tersebut diikuti oleh enam calon, yang di antaranya adalah:
- Bapak Supangat dari Dusun Nglarangan.
- Bapak Suharno dari Dusun Nglarangan.
- Bapak Sujoko Kadarusman dari Dusun Nglarangan.
- Bapak Karnadi dari Dusun Nglarangan.
- Bapak Sunaryo dari Dusun Krajan.
- Bapak Fauzan dari Dusun Ledok.
Pemilihan lurah baru tersebut kemudian dimenangkan oleh Bapak Supangat, yang memimpin Desa Muncar dari tahun 1961 hingga tahun 1969. Kepemimpinan dari Bapak Supangat ini tidak berselang begitu lama sebab kepada Bapak Supangat yang tersangkut paut atas peristiwa pemberontakan yang disinyalir dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 30 September 1965, maka jabatannya itu mesti dia relakan, dan sebuah pemilihan lurah mesti dilakukan lagi44.
Di pemilihan yang selanjutnya, beberapa calon lurah yang mencoba peruntungannya berjumlah hanya tiga calon, yang di antara calon-calon itu adalah:
- Bapak Sujoko Kadarusman dari Dusun Nglarangan.
- Bapak Karnadi (R. Atmo Diharjo) dari Dusun an yangNglarangan.
- Bapak Zarkasi dari Dusun.
Di antara ketiga calon tersebut, tampuk kepemimpinan Desa Muncar kemudian didapatkan oleh Bapak Sujoko Kadarusman, yang memimpin dari semenjak 1965 hingga tahun 1971. Namun sayangnya di tahun 1969, lurah Sujoko Kadarusman malahan terkena persoalan administrasi kepemerintahan. Persoalan tersebut membuat lurah Sujoko Kadarusman mesti menanggalkan jabatannya dan kemudian membuat kepemimpinan Desa Muncar mengalami kekosongannya hingga di tahun 1969-1971 mesti diisi oleh Carik Karnadi (R. Atmo Diharjo) dengan status jabatan PD. Selepas kepada kepemimpinan lurah yang selesai, pemilihan lurah Desa Muncar selanjutnya diberlakukan sengan cara mencoblos tanda gambar masing-masing kandidat. Di antara gambar-gambar tersebut adalah:
- Gambar Kendi.
- Gambar Payung.
- Gambar Lampu.
Dan di antara calon-calonnya pada pemilihan yang dilangsungkan tahun 1971 itu, adalah di antara nama-nama di bawah ini:
- Bapak Karnadi (R. Atmo Diharjo) dari Dusun
- Bapak Sugimin dari Dusun
- Bapak Gito Budi Prasjo dari Dusun
Dan yang kemudian berhasil keluar sebagai dia yang pemimpin Desa Muncar yang baru adalah Bapak Karnadi (R. Atmo Diharjo) yang saat itu bergambarkan kendi45. Metode biting atau pun calon yang diperlambangkan dengan gambar ini memanglah benar merupakan sebuah metode pemilihan suara yang banyak dipraktikkan di desa-desa jaman dahulu. Sebab jika menurut pada tulisan Moch. Chariris yang dimuat di Jawa Pos, dijelaskan bahwasanya pada tahun 1925, Belanda secara resmi memperundangkan sesuatu yang dikenal sebagai Indische Staatsregering atau nama lainnya adalah peraturan dasar yang membahas terkait kepada pemerintahan jajahan di Hindia Belanda. Di dalam salah satu pasalnya, regulasi tersebut menyatakan bahwa desa memiliki wewenangnya sendiri untuk memilih kepala desanya sesuai dengan adat istiadat masing-masing desa. Teknik biting sendiri memiliki jalan prosesnya yaitu dengan memasukkan potongan-potongan kecil seukuran sapu lidi ke dalam bumbung dari bambu. Dan daripada bumbung tersebut masing-masingnya telah ditandai dengan tanda atau lambang yang mewakili calon lurah. Untuk lambang-lambang yang dipergunakan ialah lambang-lambang daripada tanaman- tanaman, yang beberapa contohnya sudah dipertunjukkan di atas46.
Bapak R. Atmo Diharjo, yang saat itu dipertandakan dengan gambar kendi, berhasil memenangkan hati masyarakat Desa Muncar dan menjadi seorang lurah dengan masa jabatannya yang seumur hidup. Namun di tahun 1990, oleh sebab pada munculnya peraturan daerah Kabupaten Semarang yang mendeklarasikan bahwasanya masa bakti seorang pejabat lembaga Pemerintahan Desa mendapati pembatasannya, Bapak R. Atmo Diharjo yang memang saat itu sudah uzur usianya, mesti berhenti menjabat sebagai lurah di Desa Muncar ini. Hal ini juga sekalian menandakan perubahan istilah penyebutan bagi jabatan lurah, yang berubah menjadi kepala desa. Di tahun 1990, diadakanlah lagi sebuah pemilihan lurah menyusul dengan berhentinya Bapak R. Atmo Diharjo dengan diikuti oleh dua calon kandidat, yaitu:
- Bapak Sunar dari Dusun Krajan.
- Bapak Achmadi dari Dusun Ledok.
Bapak Sunar dari Dusun Krajan, dengan berbekal statusnya yang saat itu memang seorang purnawirawan TNI (sehingga ada kemungkinan besar berhubungan dengan kuatnya pengaruh militer di kancah jawatan pemerintahan desa pada masa orde baru) berhasil memenangkan pemilihan dengan masa bakti dari tahun 1990 sampai dengan 1998.
Di tahun 1998, sebab kepada peralihan masa dari orde baru menuju reformasi, pemilihan kepala desa pun tersangkut pengaruhnya. Kini pemilihan secara demokratis, yaitu memilih secara langsung mulai marak diberlakukan. Bapak Sunar yang mendapati masa baktinya yang final, kembali tertarik untuk mencalonkan dirinya kembali untuk mengisi tampuk kepemimpinan selama delapan tahun lagi, bersama juga Bapak Achmadi yang tertarik untuk mencalonkan diri dan mencoba peruntungan untuk kedua kalinya. Maka di tahun 1998, tiga kandidat muncul, bersama dengan Bapak Sunar yang mencalonkan dirinya lagi dan Bapak Achmadi yang kembali mencoba peruntungan, Ibu Sarwisri sebagaicalon baru mencoba kesempatannya yang pertama ini47.
- Bapak Sunar dari Krajan.
- Bapak Achmadi dari Ledok.
- Ibu Sarwisri dari Nglarangan.
Pada pemilihan yang ini, Bapak Sunar kembali meraih kemenangan atas kandidat-kandidat lainnya dan menduduki amanat masyarakat Desa Muncar untuk delapan tahun ke depan hingga tahun 2006. Pada tahun 2006, sebab kepada munculnya kebijakan baru yang berbunyi bahwa kepala desa yang sudah melewati masa baktinya selama dua periode berturut-turut tak bisa lagi mencalonkan diri, maka membuat Bapak Sunar saat itu mesti turun dan merelakan posisinya yang sebagai kepala desa itu copot dan seorang kepala desa baru mesti segera dipilih lagi. Di tahun 2006, jabatan kepala desa yang semula berdurasi delapan tahun itu memendek lagi menjadi hanya enam tahun saja.
Di tahun 2006, bersama dengan pemilihan kepala desa yang baru lagi, Desa Muncar diramaikan oleh dua calon kepala desa baru yang di antaranya adalah:
- Bapak Margono dari Dusun Muncar.
- Bapak Marsudi dari Pareyan.
Pada pemilihan kepala desa tersebut, Bapak Margono yang saat itu masih merupakan seorang guru Sekolah Dasar Muncar 1, berhasil meraih kemenangan atas Bapak Marsudi. Jabatan daripada Bapak Margono sendiri berakhir di tahun 2012. Selepas tahun 2012, pada pemilihan kepala desa yang selanjutnya, sistem berkampanye menjadi kian masif dan meriah, sebab bentuk-bentuk kampanye melalui media cetak kini mulai diperbolehkan, maka pemasangan pamflet, baliho, dan lain-lainnya yang berisikan konten wajah calon kepala desa meramaikan pesta pemilihan. Kepada calon-calon yang bertarung di pemilihan kepala desa tahun 2012 tersebut di antaranya adalah:
- Bapak Rusno Jatmiko dari Dusun Muncar.
- Bapak Suharto dari Dusun Dukuhsari.
- Bapak Sholikin dari Dusun Nglarangan.
Pemilihan kepala desa Muncar tahun 2012 menghasilkan Bapak Drs. Suharto yang keluar sebagai kepala desa baru selepas Bapak Margono48. Dan setelah Bapak Drs. Soeharto menanggalkan jabatannya ini lah, tepat di era ketika Desa Muncar dipimpin oleh Bapak Khoirudin Bagas, ide mengenai memaksimalkan potensi alam dan sosial desa mulai tumbuh. Dalam hal apa ide mengenai memaksimalkan potensi alam dan sosial desa bisa ditumbuhkan? Dalam pikir sang kepala desa, adalah dengan menjadikannya sebuah desa wisata. Sebab menjadi sebuah desa wisata, maka persiapan- persiapan yang memadai terkait perlengkapan syarat serta prasyarat sebuah desa menjadi suatu desa wisata mesti bisa dapat dipenuhi. Mengenai persiapan-persiapan, mesti juga ada persetujuan kolektif yang kiranya dapat terbentuk di antara warga masyarakat Desa Muncar terkait pendeklarasian desa sebagai desa wisata, sebab apabila nantinya sebuah keberhasilan dapat dicapai, maka gaya hidup (lifestyle) daripada masyarakatnya pun akan juga banyak mengalami perubahan- perubahan yang signifikan. Maka karena runtutan persoalan-persoalan tersebut, perbincangan yang berusaha penulis sampaikan di dalam bahasan yang kedua mengenai sejarah Desa Muncar adalah mengenai bagaimana mula-mulanya, Desa Muncar bertransformasi menjadi sebuah desa wisata, serta bagaimana yang terjadinya kiranya sejauh ini, sejauh hingga penulis menulis tulisan ini, mengenai kondisi dan situasi Desa Muncar, beserta sekalian potensi apa saja yang bisa saja terjadi di kemudian masa ke depannya.